Saturday, September 4, 2010

DARI TANGALO KE LAMTORO

SUSCLAM, JAPESDA dan BINGKAI INDONESIA membuat film tentang pelestarian mangrove.

Mangrove adalah vegetasi yang tumbuh pada tanah lumpur di dataran rendah di daerah batas pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara sungai. Tumbuhan tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat kondisi air surut. Mayoritas pesisir pantai di daerah tropis & sub tropis didominasi oleh tumbuhan mangrove, termasuk di Desa Bangga, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.


Ikan rowa adalah tradisi turun menurun yang menjadi kekhasan Desa Bangga. Untuk mengasapi ikan rowa, umumnya masyarakat menggunakan kayu mangrove, atau yang dikenal dalam bahasa lokal sebagai tangalo. Mangrove ditebang dalam jumlah besar sehingga banyak lahan mangrove di Desa Bangga yang telah terbuka dan rusak. Rusaknya ekosistem mangrove ini kemudian membuat mulai berkurangnya hasil tangkapan ikan rowa di Desa Bangga, berkurangnya hasil tangkapan ikan rowa erat kaitannya dengan rusaknya areal mangrove, karena mangrove adalah tempat bertelur ikan. Jika mangrove punah, sumber ekonomi di Desa Bangga juga terancam.

Japesda, sebuah LSM di Gorontalo kemudian melakukan pendampingan di Desa Bangga melalui Program Teluk Tomini atau SUSCLAM. Program SUSCLAM yang didanai oleh pemerintah Kanada melalui CIDA bertujuan untuk membantu meningkatkan penghidupan masyarakat melalui pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Pada awal pendampingan, Japesda banyak melakukan diskusi dengan masyarakat dan pemerintah desa tentang maksud dan tujuan Program SUSCLAM. Tujuan utama adalah membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi sumberdaya pesisir termasuk mangrove. Sumberdaya alam yang lestari akan menjamin keberlanjutan penghidupan masyarakat, baik dari segi ekologis maupun sosial-ekonomi. 

Dengan adanya kesadaran dan kesepakatan masyarakat bahwa pelestarian mangrove harus menjadi program prioritas desa, Japesda dengan beberapa anggota masyarakat mencari alternatif pengganti kayu bakar untuk pengasapan ikan rowa. Kayu lamtoro menjadi alternatif paling memungkinkan. Lamtoro tumbuh liar dan berlimpah di Desa Bangga. Pertumbuhannya yang sangat cepat menjadi masalah bagi petani karena dapat mendominasi tanaman lain. Penggunaan lamtoro sebagai kayu bakar tidak hanya dapat mencegah penebangan mangrove, tapi juga membantu petani mengontrol lahan mereka dari kolonisasi lamtoro yang mereka anggap gulma.

Saat ini, setelah Program SUSCLAM berjalan selama 2 tahun lebih, pemanfaatan mangrove oleh masyarakat berkurang hingga 80%. Kalaupun pun ada masyarakat yang ingin memanfaatkan kayu mangrove untuk kepentingan yang sangat mendesak, misalnya untuk perahu, maka tidak dibolehkan merusak induk pohon. Mereka hanya boleh mengambil rantingnya saja, dan itupun harus seizin pemerintah desa.

Sumberdaya yang lestari merupakan prasyarat bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Desa Bangga. Dengan kesadaran sendiri warga membentuk kelompok-kelompok pelestari mangrove dan membuat pembibitan mangrove untuk keperluan desa mereka. Masyarakat di Desa Bangga berupaya meningkatkan nilai tambah ekonomi ikan rowa. Beberapa wanita desa telah membentuk kelompok untuk mengolah ikan rowa menjadi abon dengan berbagai rasa. Diversifikasi produk olahan akan dapat menampung produksi ikan rowa dan juga membuka lapangan kerja di desa. Mangrove yang lestari menjaga lingkungan desa dan kontinuitas produksi ikan rowa; dan produksi ikan rowa yang kontinyu menopang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa.


Dengan kesadaran bahwa media audio-visual dapat menstimulus gerakan pelestarian lingkungan maka Japesda-SUSCLAM bekerjasama dengan Bingkai Indonesia (sebuah perkumpulan filmmaker lingkungan di Jogjakarta), kemudian menerjemahkan cerita ini dalam sebuah film dokumenter “DARI TANGALO KE LAMTORO”. Kesuksesan masyarakat Desa Bangga dalam menjaga kelestarian mangrove menjadi outline dalam film ini dan berharap hal itu akan dilakukan juga di seluruh masyarakat pesisir, tidak hanya di Gorontalo tapi juga di Indonesia.

Proses pengambilan gambar dilakukan selama tujuh hari dari tanggal 25 Agustus sampai dengan 31 Agustus 2010 yang berpusat di Desa Bangga dan daerah sekitarnya serta pusat kabupaten dan provinsi. Saat ini proses telah memasuki tahapan editing di Jogjakarta dan diharapkan selesai pada pertengahan oktober 2010.